Saturday, October 20, 2012

Eating Animal


Title: Eating Animals
Original Title: Eating Animals
Author: Jonathan Safran Foer
Publisher: PT Gramedia Pustaka Utama (2010)
ISBN: 9789792263282
Pages: 328 pages
Original Published Date: November 2009

Apa lauk makan siang hari ini? Ayam, ikan atau daging sapi? Apapun itu, sedikit banyak saya bersyukur karena di Indonesia kebanyakan peternakan yang ada masihlah peternakan tradisional, bukan factory farming/peternakan pabrik seperti di Amerika dan Eropa sana (sebuah trend yang sekarang juga sudah mulai merambah India dan Cina). Buku ini mengulas detail-detail asal-usul produk hewani ala factory farming yang tersaji di piring makan masyarakat luas di Amerika. Jika di Indonesia sempat marak kasus daging sapi glonggongan (sapi yang dipaksa minum bergalon-galon air sebelum dibawa ke tempat penjagalan, agar bobotnya bertambah), dan itu bagi kebanyakan orang sudah membuat bergidik akan ketidakberperikehewanannya, maka dalam buku ini akan dipaparkan kekejaman yang berpuluh kali lebih sadis. Yang lebih menakutkan lagi, kekejaman ini dilakukan dengan sadar, terencana, dalam skala industri masif dan 'direstui' oleh pemerintah, baik federal dan negara bagian.

Video dari Youtube berikut mungkin dapat memberi gambaran singkat tentang isi buku. (Peringatan: meski sudah saya carikan yang paling mild dari banyak video yang ada -just search for keyword 'meet your meat' or 'factory farming'- tapi tetap ini viewer discretion's adviced. Watched on your own risk.)



Ayam
Species ayam yang diternakkan direkayasa secara khusus, hingga punya dada super mentok, paha berdaging, dan kaki pendek. Ketidakproporsional bentuk tubuh ini adalah kecacatan yang disengaja. Ini masih ditambah pemilihan gen gemuk, suntikan hormon pertumbuhan dan antibiotika nonterapeutik (yang pada gilirannya mengakibatkan kekebalan antibiotik pada manusia) dan pengaturan lampu ruangan agar ayam makan terus menerus selama 39 hari masa kehidupannya.

Kandang ayam standar di peternakan pabrik berukuran 18 x 150 m2, berisi sekitar 50.000 ayam. Jadi ambil sehelai kertas A4 di meja Anda, lipat jadi 2, itulah kira-kira besar ruang untuk masing-masing ayam. (*dulu waktu masih jadi roker -rombongan kereta- naik krl pagi sering teriak, 'gerbongnya udah penuh kayak sarden.' sebuah ungkapan yg ternyata kurang kena.... harusnya 'udah penuh kayak ayam di peternakan pabrik!'*) Untuk mencegah ayam-ayam berkelahi dan saling bunuh di ruang sempit, paruh anak ayam berusia 7 hari dipotong menggunakan pisau panas.

Akibatnya, ayam jadi bola bundar, hidup diantara kotoran dan bangkai teman-teman sesama ayam, selalu kesakitan, stres, sakit jantung dan tidak biasa/bisa berjalan.

Kekejaman proses pengangkutan dan penjagalan jangan dibahas lagi deh. Rata-rata 105 ekor ayam per 3,5 menit. *Boro-boro jagalnya sempet baca Basmallah #eh?*

* catatan pemerintah, 95% ayam di peternakan terinfeksi bakteri E.Coli dan 75% daging ayam yang dijual di toko masih terinfeksi (hal.128)

Ikan
Dalam peternakan Salmon, air yang digunakan sangat tercemar dan kotor hingga kutu laut berkumpul sampai 30 ribu kali lipat daripada yang terjadi di alam. Kutu ini punya istilah beken dalam industri, yaitu Death Crown, karena mereka membuat borok dan memakan ikan sampai ke dagingnya di bagian kepala.
Saat panen, ikan-ikan salmon ini dipotong insangnya, dan dibiarkan sampai mati kehabisan darah.

Ok, bagaimana dengan ikan hasil tangkapan di laut. Pukat harimau yang paling umum digunakan nelayan di Amerika untuk menangkap udang, membuang 80-90% hasil tangkapannya (ikan apa saja termasuk hiu, lumba-lumba, paus dan pari, kepiting, cumi-cumi, kerang, albatros dan penyu) kembali ke laut.... dalam keadaan mati! (hal 185)

Babi
Babi betina indukan dibuat bunting sesering mungkin sepanjang hidupnya. Suntikan hormon diberikan agar semua bayi babi lahir dalam waktu bersamaan, kemudian dalam 3 minggu, induk bayi sudah diinseminasi kembali. Selama kehamilan, babi dikurung dalam kandang yang sangat pas badan, hingga ia bahkan tidak dapat berbalik badan ataupun berbaring dengan sempurna. Borok dan nanah yang terjadi akibat kurang gerak adalah hal lumrah.

Banyak anak babi yang lahir cacat. Mereka dibunuh dengan cara dibanting (begitu juga nasib anak babi yang dalam sekian hari tidak mencapai berat tertentu - banting sampai mati!) Anak babi yang beruntung lahir tidak cacat, dipotong ekornya dan dicabut gigi taringnya. Dalam 10 hari, anak babi jantan dicabut pelirnya, karena konsumen lebih doyan rasa daging hewan kebiri. Sementara itu, hormon pertumbuhan dan antibiotika nonterapeutik wajib hukumnya. (*jangan bayangin anak babi lutju macam film Babe: Pig in the City deh, tambah ngenes jadinya*)

Sekali lagi, proses pengangkutan dan penjagalan lebih baik tidak dibahas. Mual saya membacanya.

* Satu peternakan babi dapat memproduksi 3200 ton lebih limbah kotoran per tahun. Banyak sekali tahi, yang dikelola secara asal-asalan, merembes ke sungai, danau dan laut, membunuh kehidupan liar dan mencemari udara, air, tanah. (hal 169)

* Sumber pertama wabah flu babi H1N1 adalah peternakan pabrik babi di North Carolina. Di peternakan pabrik juga, para ilmuwan melihat virus yang memadukan materi genetis dari virus burung, babi dan manusia. Enam dari delapan segmen genetik virus yang sekarang paling ditakuti di dunia berasal dari peternakan pabrik di Amerika (hal 139)

Sapi
Nasib sapi ternak pabrik tidak begitu berbeda dengan babi. Selain potong pelir, tanduk mereka juga dipotong, dan badan dicap dengan besi panas.

Sapi yang secara natural adalah herbivora, sekarang diberi pangan yang juga termasuk darah sapi dari rumah jagal, sisa-sisa tulang pendahulunya, sampah dan entah apa lagi.

***

Jadi meski dalam 50 tahun terakhir, harga mobil baru di Amerika naik 1400%, namun harga susu hanya naik 350%, harga telur dan ayam bahkan belum berlipat ganda. Dengan mempertimbangkan inflasi, harga protein hewani saat terendah sepanjang masa. Namun apakah itu sepadan dengan tingginya tingkat obesitas, diabetes, tingginya tekanan darah, zat karsinogen, ketidakefektivan antibiotik, dan perkembangan sekian banyak virus dan bakteri? Apakah juga sepadan dengan dengan hilangnya rasa kasihan dan peri-kehewanan, yaitu nama lain dari rasa kemanusiaan kita sendiri?

Meningkatnya jumlah produk hewani ini juga tidak lalu menurunkan angka kelaparan dunia. Hari ini baru 16% produk hewani menjadi makanan orang Cina, namun hewan ternak telah menghabiskan 50% lebih konsumsi air negeri tersebut. Tahun 2050 ternak sedunia akan menghabiskan jatah padi-padian yang cukup untuk memberi makan 4 Miliar manusia. (hal. 254)

Bukankah sia-sia, jika untuk setiap produk kosmetik kita bersusah payah mencari yang 'free animal testing' namun jika pada kenyataannya menu makan siang kita masih berasal dari tempat seperti itu (dan di Amerika sana, lebih dari 90% produk hewani yang beredar di toko retail, berasal dari peternakan pabrik!). Mungkin Indonesia belum sampai pada tahap ini, tapi harusnya fakta-fakta ini diketahui sebelum kita harus mengambil keputusan di hari esok.

1 comment:

Lila Podungge said...

Ke KFC yuk, ato bakso pak Petruk ato pujasera sepanjang Semawes, banyak tuh sate babi.... #hueeekkk....

;)