Pengarang: Armijn Pane
Penerbit: Penerbit Dian Rakyat
ISBN: 979-523-046-8
Cetakan ke: 22
Jumlah Halaman: 159 hal
Terbit pertama kali: 1940
Cerita Belenggu ada berkisah pada sepasang suami istri, Dokter Sukartono and istrinya Sumartini yang tiada lagi seiya sekata dalam mengarungi biduk rumah tangga. Tini mencari penghiburan dengan macam-macam acara perempuan, bazaar, mengasuh anak piatu, kongres dan yang sejenis. Tono mendapatkan penghiburan dalam peluk rayu bunga raya bersuara merdu, Rohayah namanya. Benih ketiadaselarasan ini sebenar-benarnya berawal pada luka pada hati Tini yang ditinggal pergi kekasih pujaan hatinya, kelak pembaca ketahui ada nama Abdul Hamid atau Hartono, sahabat karib Dokter Tono pula. Antara Tono dan Tini satu dua kali kita lihat masih ada rasa kasih tertahan, namun hubungan keduanya terlampau complicatie, membuat enggan untuk berkata benar. Keduanya berjalan pada dua arah yang berbeda. Akhir kisah ditulis memang tiada biasa untuk novel romansa, namun baik juga begitu. Kesemua tokohnya berujung mampu melepas belenggu yang mengikat, meski tiada tahu kemana jalan kan melangkah.
*****
Novel ini ditulis sekitar pertengahan dekade 1930an, dan saat dicetak menuai banyak sekali kritik dan kecaman. Keberanian sang pengarang mengambil tema perselingkuhan dan wanita penghibur yang dianggap tabu, ditambah lagi kemandirian perempuan dan akhir kisah yang non konvensional membuat kisah ini menjadi buah pikiran yang jauh melampaui zamannya. Menjawab celaan dari banyak pihak tersebut Armijn Pane sempat menulis pada pengantar cetakan selanjutnya sebagai berikut:
"Banyak yang hendak saya nyatakan, apakah yang dapat menghalangi saya, kalau menurut keyakinan saya, saya patut berbicara? Karena cara saya melahirkan keyakinan akan dicela setengah orang?
Karena soal yang saya kemukakan, menurut setengah orang mesti didiamkan?
Karena saya akan dihinakan orang?
Karena saya akan dimaki?
Kalau keyakinan sudah menjadi pohon beringin, robohlah segala pertimbangan lain-lain.
Perahu tumpangan keyakinanku, berlayarlah engkau, jangan enggan menempuh angin ribut, taufan badai, ke tempat pelabuhan yang hendak engkau tuju. Berlayarlah engkau ke dunia baru"
Tidak heran novel ini bertahun-tahun kemudian masih menjadi novel klasik angkatan Pujangga Baru. Saat membaca, sempat terpikir bahwa ini lebih baik daripada novel The Great Gatsby karya F. Scott Fritzgerald yang meski mengusung tema sejenis, namun diakhiri dengan kesan lebih tragis dan pesimis.
Penggunaan gaya bahasa lama, walaupun dengan ejaan yang sudah baru, mungkin agak kurang familier untuk dibaca generasi muda sekarang. Sayapun terkadang harus sedikit berpikir dan mengingat-ingat kosa kata yang digunakan nenek-kakek di waktu lampau, seperti kata vrij (libur) atau ingenieur (insinyur) atau menang (lulus ujian). Namun demikian, enak juga sekali waktu membaca kalimat berbunga-bunga untuk mendeskripsikan sesuatu, ini misalnya, "Kartono merasa puas memandang Tini. Elok digambar, sebagai lagu beralun-alun, terpercik-percik, sebagai pemandangan alam disinari matahari hampir tenggelam di waktu samar-samar."
Yang sedikiiittt mengganggu dalam buku ini adalah masih banyaknya typo yang tidak terbetulkan (yang sama baca ini adalah cetakan ke-22 gitu loh). Bukan typo yang cukup berarti sebenarnya, kurangnya spasi antara duakata, kelebihan spasi di tengah ka ta, sebenamya untuk sebenarnya, dan lain-lain yang sejenis. Ataukah ini memang kesengajaan untuk mempertahankan keontentikan tulisan?
Belenggu pada Goodreads
No comments:
Post a Comment